Detail Repositori

Abstrak
Bali adalah tempat di mana yang rasional dan irasional bisa saling bertukar, bermutasi. Tentu bisa juga menyatu dalam satu tungku. Berbeda sekaligus sama, di dalam sekaligus di luar. Standar bersama diciptakan melalui konsensus, bukan segera mengabadikan, tetapi mengujinya dengan tuas pragmatisme. Dengan itu, Bali akan selalu terbuka menerima anasir asing, yang tak paham menyebutnya permisif. Padahal dalam keberterimaannya itu sekaligus terdapat mekanisme uji internal, jika laik diteruskan, jika gagal memenuhi standar bersama, akan ditinggalkan. Sesederhana itu, sebenarnya. Tak aneh, jika tren dalam budaya pop sekalipun juga tetap dijabat tangan, bahkan dalam rangka memenuhi urusan ritual sakral. Dan sebagai masyarakat berciri agraris, budaya komunal terasa kental. Karena itu, di manapun orang Bali berdiam, hidup kolektif akan menjadi pilihan, bukan eksklusif karena kesepekang akan menanti. Pergi ke pura saat odalan juga demi dan untuk kolektivitas itu. Jangan kaget, di luar Bali hingga ke luar negeri, kekerabatan menebal betul, meskipun celah rapuh juga menganga, misalnya karena soal primordial. Tak apalah, dengan itu juga karaktertistik budaya Bali tetap lestari. Tak salah, pura juga multifungsi, misalnya untuk mencari jodoh, setidaknya jangan sampai paid bangkung. Sayangnya memang, Bali kini mulai banyak berubah, yang beberapa di antaranya malah kontraproduktif. Pariwisata misalnya, meskipun isu ini bukan barang baru, tetap saja ada kegagalan, terutama membenahi mentalitas “orang dalam”. Di alam demokrasi, dengan diberlakukannya otonomi daerah, kita tetap tak boleh mengumpat apalagi mengusir pendatang, karena yang harus juga dilakukan adalah otokritik. Mengapa masih ada orang Bali yang miskin dan bodoh? Dus, bagaimana positioning kita terhadap sergapan shifting dan disruption, yang mau tak mau, harus dilakoni. Padahal efek Foucauldian juga sedang menjangkiti kehidupan post-modern kita, ketika kekuasaan sudah menyebar dan tidak ada kuasa tunggal, semua sudah mulai terbagi. Klaim pribumi dan urban juga mulai tak laku lagi. Bahkan selera hidup kini sudah dikendalikan android, yang siapa pengendalinya, tetap tak jelas. Tapi yang tak berubah, kita di Bali tetap dapat menikmati dua dunia sekaligus: sekala-niskala, moderntradisional. Mengapa, karena kebudayaan.

Keywords

Jenis Repostori
Buku
Nama Jurnal

ISSN
Tanggal Terbit
03 April 2020

Volume
ISSUE

File Repository
Download File Repository