Detail Repositori

Abstrak
Artikel ini adalah salah satu bagian dari penelitian lapangan tentang praktik kehidupan keagamaan di daerah perbatasan negara. Badau di Kalimantan Barat adalah salah satu daerah yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Dayak Iban menjadi suku terbesar dan dominan di Badau, selain Suku Melayu dan beberapa suku pendatang lainnya. Sejak awal 2017, Badau telah bertanformasi menjadi salah satu perbatasan yang semakin modern dengan berbagai fasilitas dan infrastrukturnya. Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang berdiri megah juga mulai menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan kepada Indonesia karena wilayah ini telah lama berjuang menjadi beranda depan, bukan hanya sebagai halaman belakang negara. Berdasarkan hasil observasi terlibat dan wawancara mendalam, diperoleh simpulan bahwa perubahan besar ini juga membawa konsekuensi lain, di antaranya ketidaksiapan masyarakatnya menghadapi arus perubahan dan berkurangnya ikatan persatuan. Dalam upaya menghadapi berbagai dampak ini, Suku Dayak Iban bersama Suku Melayu memainkan strategi kebudayaan untuk bertahan dan secara lentur belajar mengikuti perubahan. Mereka secara kolektif tetap meneruskan tradisi lokal yang sebelumnya milik Suku Dayak Iban namun istilah, bahasa dan bentuknya disesuaikan dengan Suku Melayu dan pendatang sehingga semua warga dapat terlibat aktif di dalamnya. Melalui tindakan budaya “berbagi bahasa” itu, mereka melibatkan aspek kognitif, adaptasi, simbol dan struktur untuk merepresentasikan keinginan sebagai masyarakat yang solid, sekaligus memanifestasikan ketahanan kultural. Rasa cinta tanah air secara simbolik dilakukan melalui ritual bersama di area netral perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Keywords
“Berbagi Bahasa”, Masyarakat Badau, Solidaritas, Nasionalisme

Jenis Repostori
Prosiding
Nama Jurnal

ISSN
Tanggal Terbit
10 April 2020

Volume
ISSUE

File Repository
Download File Repository